Wah, kalau konteksnya mahasiswa STIKES Sehati, pasti banyak tantangan khas dunia kesehatan—praktikum, tugas laporan, jadwal padat, tekanan nilai, bahkan mungkin dilema di lapangan saat PKL atau koas nanti. Jadi, "Jadikan kekecewaan sebagai lecutan" buat mahasiswa STIKES itu bisa dibikin lebih relevan dan aplikatif.
Berikut cara-caranya yang disesuaikan:
Misalnya:
Dapat nilai di bawah ekspektasi.
Salah prosedur waktu skill lab.
Dosen kurang support.
Gagal daftar beasiswa atau organisasi.
Jangan langsung menyerah atau minder. Ini semua proses buat ngasah mental dan profesionalisme kamu sebagai tenaga kesehatan masa depan.
Tanya diri:
"Apa yang bisa aku tingkatkan?"
"Apa aku sudah maksimal usahanya?"
"Mana yang bisa aku ubah, dan mana yang harus aku terima?"
Catat. Evaluasi ini bisa jadi kompas kamu supaya gak jatuh di lubang yang sama.
Contoh konkret:
Gagal di praktikum? Latihan lebih giat, cari video tutorial, tanya senior.
Ditolak organisasi? Bangun kredibilitas pribadi lewat kegiatan sosial kampus atau komunitas luar.
Lelah kuliah sambil kerja? Ingat tujuan akhirnya: menjadi perawat/bidan/fisioterapis/apoteker profesional.
Kekecewaan jadi bensin buat semangat juangmu.
Kamu bukan cuma kuliah buat nilai. Tapi kamu sedang dipersiapkan buat menangani nyawa orang lain. Mental baja harus dibentuk dari sekarang. Jadi kekecewaan itu latihan emosional juga, bukan cuma akademik.
Ngobrol sama teman seangkatan, mentor, dosen pembimbing akademik, atau bahkan konselor kampus. Kadang kita cuma butuh didengerin dan dikasih sudut pandang baru.
Kekecewaan itu bukan tanda kegagalan. Tapi ujian kelayakan: apakah kamu cukup kuat untuk jadi profesional kesehatan yang tabah, empati, dan kompeten?